Untuk orang yang tinggal di daerah perkotaan atau daerah penyangganya, ATM adalah sesuatu yang biasa. Teknologi ini dapat ditemui dimana-mana. Tapi di tempat saya lahir dan dibesarkan, ATM adalah 'sesuatu' yang baru.
Kecamatan Sekampung, masuk dalam wilayah Lampung Timur. Desa Sukoharjo, tempat saya tinggal, terletak 2 kilometer dari kota kecamatannya. Sebagai wilayah yang hanya berjarak 20 kilometer dari Kotamadya Metro, sebenarnya wilayah ini tidak 'ndeso' sekali hehehe setidaknya perjalanan ke Swalayan/Pertokoan di Kota Kabupaten terdekat hanya 30-45 menit. Ada juga bioskop di Metro hmmm jangan bayangkan fasilitas sekelas jaringan cineplex 21 ya.
Sebagaimana wilayah di luar Jawa lainnya, pembangunan infrastruktur wilayahnya tidak merata. Di Kecamatan kami, saat ini kelas "XXXX"mart adalah toko terlengkap. Mencari sayuran seperti brokoli pun agak sedikit sulit di pasar tradisional, jangan coba-coba mencari paprika atau coklat compound. Bahkan membeli simcard f*exi, yang saat ini saya pakai untuk posting pun hanya ada di Metro, karena disini peminatnya sedikit, tidak ada yang jual. Jaringan listrik PLN masuk ke desa kami ketika saya di SMA. Kabel telpon mulai terpasang ketika saya kuliah. Sebelum kabel telpon merata dan munculnya pemancar telpon seluler, ada dua Wartel di Kecamatan yang selalu ramai orang yang menelpon. Awal-awal ada ponsel, bahkan harus naik pohon baru ada sinyal, untuk sekedar menerima atau mengirim sms. Nah mudik tahun ini, saya melihat ada teknologi baru di Kecamatan kami, Automatic Teller Machine. Oh ya, hanya ada satu Bank di Sekampung, BRI.
Peraturan baru yang menyatakan untuk pengambilan uang dibawah dua juta diminta menggunakan ATM, hal ini menyebabkan ATM jadi laris manis. Saya, kebetulan bukan nasabah bank BRI, tapi karena sehari sebelumnya saat ke Metro, ternyata transfer yang saya lakukan untuk SPP belum cukup, dan tidak menemukan ATM yang berfungsi baik di jalan pulang ke rumah, maka saya memutuskan menggunakan jaringan ATM bersama dengan ATM BRI. Saat menunggu di antrian, saya baru menyadari sesuatu yang menarik.
Pengguna ATM pertama, dua orang ABG, usia kira-kira SMA, salah seorang masuk ATM, satu lagi menunggu di luar. Saat ABG yang satu keluar dari ATM dan mengajak pulang, yang menunggu langsung bilang , " Hah? sudah selesai? Gak pake antri-antri lagi ?". Gembiranya terlihat jelas, karena antrian di Teller di satu-satunya Bank di Sekampung ini lumayan membuat orang ingin ke tukang pijat.
Pengguna ATM kedua, Bapak usia 40-an, mengotak-atik cukup lama, tapi kemudian menyerah, memanggil seorang satpam yang membantu mengatur parkir, rupanya ia kesulitan mencari menu yang dibutuhkan untuk mengambil uang.
Pengguna ATM ke-tiga, dua anak laki-laki, usia SMA, menggunakan ATM untuk pertama kalinya, alias harus mengganti PIN, juga dibantu si satpam. Saat dua anak itu keluar, Pak Satpam mengatakan, jangan sampai lupa no PIN-nya ya.. ^_^
Pengguna ATM ke-empat, seorang Bapak, usia 45-an, mungkin. Saat akan masuk si satpam bertanya, sudah ingat nomer PIN-nya Pak? Ah, rupanya sejak tadi si Bapak sedang panik, karena lupa nomor PIN dari atmnya.
Antrian selanjutnya, Ibu-ibu, si ibu memesan sejak awal ke Pak Satpam, nanti saya minta tolong dibantu ya Pak..
Pengguna ATM selanjutnya, yang terakhir didepan saya, tadinya cukup percaya diri masuk ke ruang ATM, tapi setelah tiga menit, dia menyerah, dan meminta bantuan Pak Satpam juga.
Ketika akan masuk ATM, saya menoleh ke belakang, ternyata antrian di belakang saya sudah mengular. sekitar 10-15 orang, hehehe wah, sepertinya tugas Pak Satpam agak ekstra, padahal hari itu hari Sabtu, Bank libur. Keluar dari ATM, saya jadi ingat, kondisinya mirip dengan waktu awal-awal ada Wartel, petugas Wartel juga harus sabar sekali karena merangkap operator telpon, orang yang datang membawa kertas bertuliskan nomor telpon dan mengatakan, "Mas, minta tolong pencetin nomor ini ya...".
Nasabah bank adalah orang-orang yang sangat beragam tingkat pendidikan dan latar belakang sosial, sebagian besar adalah orang yang hidupnya sederhana. Orang-orang sederhana yang mungkin baru pertama kali masuk ruangan ber-AC, biasanya hanya memegang cangkul, sibuk di sawah, kebon atau berjualan di pasar. Banyak diantaranya mungkin punya telpon tapi tidak tahu caranya sms dan hanya tahu menerima telpon. Dua anak laki-laki yang saya ceritakan diatas sempat berkomentar dinginnya ruang ATM, dan salah satunya penasaran kenapa kaca ruang ATM berembun banyak di bagian bawah. Belum lagi pilihan English-Indonesia yang kadang-kadang membingungkan orang yang salah menekan pilihan. Teknologi, memang benar, membuat banyak hal lebih mudah, tidak perlu mengantri dan lain-lain. Tapi kesiapan manusia menggunakan teknologi adalah hal yang berbeda, meski kesadaran mereka menyimpan uang di Bank cukup pantas diacungi jempol. Ibu saya, sampai saat ini, belum berani membuat kartu ATM, dengan alasan, takut bingung kalau pas mau mencet-mencet.
Setidaknya untuk saat ini, setiap ke ATM, banyak diantara mereka pasti menuliskan nomor PIN kartu ATM, agar tidak lupa. Disini, PIN, Personal Identification Number, bukan rahasia lagi, karena minimal si Pak Satpam, pasti tahu berapa nomor PIN orang tersebut.
Kecamatan Sekampung, masuk dalam wilayah Lampung Timur. Desa Sukoharjo, tempat saya tinggal, terletak 2 kilometer dari kota kecamatannya. Sebagai wilayah yang hanya berjarak 20 kilometer dari Kotamadya Metro, sebenarnya wilayah ini tidak 'ndeso' sekali hehehe setidaknya perjalanan ke Swalayan/Pertokoan di Kota Kabupaten terdekat hanya 30-45 menit. Ada juga bioskop di Metro hmmm jangan bayangkan fasilitas sekelas jaringan cineplex 21 ya.
Sebagaimana wilayah di luar Jawa lainnya, pembangunan infrastruktur wilayahnya tidak merata. Di Kecamatan kami, saat ini kelas "XXXX"mart adalah toko terlengkap. Mencari sayuran seperti brokoli pun agak sedikit sulit di pasar tradisional, jangan coba-coba mencari paprika atau coklat compound. Bahkan membeli simcard f*exi, yang saat ini saya pakai untuk posting pun hanya ada di Metro, karena disini peminatnya sedikit, tidak ada yang jual. Jaringan listrik PLN masuk ke desa kami ketika saya di SMA. Kabel telpon mulai terpasang ketika saya kuliah. Sebelum kabel telpon merata dan munculnya pemancar telpon seluler, ada dua Wartel di Kecamatan yang selalu ramai orang yang menelpon. Awal-awal ada ponsel, bahkan harus naik pohon baru ada sinyal, untuk sekedar menerima atau mengirim sms. Nah mudik tahun ini, saya melihat ada teknologi baru di Kecamatan kami, Automatic Teller Machine. Oh ya, hanya ada satu Bank di Sekampung, BRI.
Peraturan baru yang menyatakan untuk pengambilan uang dibawah dua juta diminta menggunakan ATM, hal ini menyebabkan ATM jadi laris manis. Saya, kebetulan bukan nasabah bank BRI, tapi karena sehari sebelumnya saat ke Metro, ternyata transfer yang saya lakukan untuk SPP belum cukup, dan tidak menemukan ATM yang berfungsi baik di jalan pulang ke rumah, maka saya memutuskan menggunakan jaringan ATM bersama dengan ATM BRI. Saat menunggu di antrian, saya baru menyadari sesuatu yang menarik.
Pengguna ATM pertama, dua orang ABG, usia kira-kira SMA, salah seorang masuk ATM, satu lagi menunggu di luar. Saat ABG yang satu keluar dari ATM dan mengajak pulang, yang menunggu langsung bilang , " Hah? sudah selesai? Gak pake antri-antri lagi ?". Gembiranya terlihat jelas, karena antrian di Teller di satu-satunya Bank di Sekampung ini lumayan membuat orang ingin ke tukang pijat.
Pengguna ATM kedua, Bapak usia 40-an, mengotak-atik cukup lama, tapi kemudian menyerah, memanggil seorang satpam yang membantu mengatur parkir, rupanya ia kesulitan mencari menu yang dibutuhkan untuk mengambil uang.
Pengguna ATM ke-tiga, dua anak laki-laki, usia SMA, menggunakan ATM untuk pertama kalinya, alias harus mengganti PIN, juga dibantu si satpam. Saat dua anak itu keluar, Pak Satpam mengatakan, jangan sampai lupa no PIN-nya ya.. ^_^
Pengguna ATM ke-empat, seorang Bapak, usia 45-an, mungkin. Saat akan masuk si satpam bertanya, sudah ingat nomer PIN-nya Pak? Ah, rupanya sejak tadi si Bapak sedang panik, karena lupa nomor PIN dari atmnya.
Antrian selanjutnya, Ibu-ibu, si ibu memesan sejak awal ke Pak Satpam, nanti saya minta tolong dibantu ya Pak..
Pengguna ATM selanjutnya, yang terakhir didepan saya, tadinya cukup percaya diri masuk ke ruang ATM, tapi setelah tiga menit, dia menyerah, dan meminta bantuan Pak Satpam juga.
Ketika akan masuk ATM, saya menoleh ke belakang, ternyata antrian di belakang saya sudah mengular. sekitar 10-15 orang, hehehe wah, sepertinya tugas Pak Satpam agak ekstra, padahal hari itu hari Sabtu, Bank libur. Keluar dari ATM, saya jadi ingat, kondisinya mirip dengan waktu awal-awal ada Wartel, petugas Wartel juga harus sabar sekali karena merangkap operator telpon, orang yang datang membawa kertas bertuliskan nomor telpon dan mengatakan, "Mas, minta tolong pencetin nomor ini ya...".
Nasabah bank adalah orang-orang yang sangat beragam tingkat pendidikan dan latar belakang sosial, sebagian besar adalah orang yang hidupnya sederhana. Orang-orang sederhana yang mungkin baru pertama kali masuk ruangan ber-AC, biasanya hanya memegang cangkul, sibuk di sawah, kebon atau berjualan di pasar. Banyak diantaranya mungkin punya telpon tapi tidak tahu caranya sms dan hanya tahu menerima telpon. Dua anak laki-laki yang saya ceritakan diatas sempat berkomentar dinginnya ruang ATM, dan salah satunya penasaran kenapa kaca ruang ATM berembun banyak di bagian bawah. Belum lagi pilihan English-Indonesia yang kadang-kadang membingungkan orang yang salah menekan pilihan. Teknologi, memang benar, membuat banyak hal lebih mudah, tidak perlu mengantri dan lain-lain. Tapi kesiapan manusia menggunakan teknologi adalah hal yang berbeda, meski kesadaran mereka menyimpan uang di Bank cukup pantas diacungi jempol. Ibu saya, sampai saat ini, belum berani membuat kartu ATM, dengan alasan, takut bingung kalau pas mau mencet-mencet.
Setidaknya untuk saat ini, setiap ke ATM, banyak diantara mereka pasti menuliskan nomor PIN kartu ATM, agar tidak lupa. Disini, PIN, Personal Identification Number, bukan rahasia lagi, karena minimal si Pak Satpam, pasti tahu berapa nomor PIN orang tersebut.
0 comments