Tak terasa, air mata menetes saat membaca buku ini, entah kenapa, buku ini secara emosional terasa dekat dengan perasaan. Mirip ketika dulu membaca Sang Pemimpi atau Edensor karangan Andrea Hirata. Saya bahkan merasa biasa-biasa saja saat membaca buku yang pertama, meski Negeri 5 Menara juga bagus. Ranah 3 Warna ini adalah buku kedua dari trilogi tentang hidup Alif, si tokoh utama. Setelah menyelesaikan studinya di Pondok Madani, Petualangan Alif di bangku kuliah, diceritakan dalam buku ini.
Ranah 3 Warna, menggambarkan tiga tempat yang menjadi latar cerita, Sumatera Barat, Bandung dan Kanada. Setelah lulus dari Pondok Madani, Alif yang pulang ke kampungnya, tepian Danau Maninjau, kemudian mengikuti ujian persamaan Sekolah Menengah Atas. Dengan nilai yang rata-rata hanya 6.5, Alif sempat merasa sangat kecewa dan tidak percaya diri untuk melanjutkan kuliah di ITB. Dan akhirnya Alif memutuskan mengikuti UMPTN (Ujian Masuk PTN) namun realistis dengan merubah pilihan jurusannya. Semula ingin menyamai Randai, teman sekampungnya, kuliah di ITB, Alif menggantinya dengan Hubungan Internasional Universitas Padjajaran. Singkat cerita, meski banyak cibiran orang yang sangsi akan usahanya menembus UMPTN, Alif berhasil lulus.
Bandung, menjadi saksi perjuangan kuliah dan hidup Alif. Dengan biaya pas-pas-an (Ayahnya harus menjual motor untuk biaya kuliah), menumpang kost di tempat teman dan suka duka Alif menyesuaikan diri dengan dunia kuliah yang berbeda dengan pendidikan di Pondok Madani. Pada masa kuliah inilah, Ayah Alif meninggal dunia. Titik ini yang merubah banyak hal dalam hidup Alif, berusaha dengan segala cara mencari biaya kuliah dan mencukupi biaya hidupnya. Alif memulainya dengan berjualan keliling, memberi les sampai akhirnya menemukan jalan untuk melakoni pekerjaan menghasilkan uang yang disukainya, menulis. Ya, Alif, kemudian mengandalkan hasil dari tulisan dan dibuatnya untuk koran lokal dan nasional.
Kegiatan menulis ini juga yang kemudian menyelamatkannya, ketika akan mengikuti program pertukaran mahasiswa ke Kanada, karena biasanya, program pertukaran pelajar mewajibkan kemampuan kesenian seperti alat musik, tari atau nyanyi. Alif tidak mempunyai kemampuan dalam hal itu, akhirnya memutuskan menunjukkan jejak rekamnya dalam tulis menulis.
Bagian terakhir dalam buku ini, menceritakan petualangan Alif di Kanada dan teman-teman satu tim-nya yang ditempatkan di satu lokasi. Ada banyak kejadian kocak di bagian ini, terutama karena mereka memang harus beradaptasi dengan lingkungan baru, orang-orang yang baru dikenal dan bahasa baru, karena di Saint Raymond, Quebec, sebagian besar penduduknya berbahasa Prancis. Sebagaimana buku-buku lain yang bercerita tentang petualangan di luar negeri, nasionalisme selalu tumbuh dan mengharukan ketika kita merantau ke negeri orang.
Beberapa orang mungkin bilang, buku ini biasa-biasa saja, bahkan tokoh Alif cenderung menunjukkan sisi yang tidak baik, beberapa sikap yang dekat dengan iri terhadap Randai ditunjukkan di banyak bagian dalam buku ini. Namun, rasanya justru itu yang membuat buku ini menarik, karena menceritakan Alif apa-adanya, saat Alif sedih, marah, kecewa, putus asa, senang ataupun bersemangat.
Kalaupun ada yang terasa kurang, adalah penggambaran lokasi latar cerita dalam buku ini. Saya belum merasa ada di Bandung, di Yordan atau bahkan di Kanada ketika membacanya meski ada bagian yang bercerita tentang salju, daun maple, memancing trout, dan makan pancake tiga lapis. Lebih banyak kekuatan dialog dan cerita yang menunjukkan lokasi cerita, mungkin karena si penulis memang wartawan, yang gaya menulisnya memang demikian. Meski begitu, buku ini tetap enak dibaca.
Kisahnya memang sederhana, namun pesan yang disampaikan oleh buku-buku ini memang sangat mengena. Ah mungkin yang ini subyektif, karena terkait perasaan saya. Pesan utama ini buku ini mengatakan bahwa kadang-kadang bersungguh-sungguh saja tidak cukup untuk seorang Alif.
Tidak cukup bersungguh-sungguh ketika harus merangkum pembelajaran tiga tahun untuk menempuh ujian persamaan SMA,
tidak cukup, meski sudah berjualan keliling dengan berjalan kaki puluhan kilo
tidak cukup, meski harus berhadapan dengan perampok yang bahkan tidak menemukan banyak uang di dompet,
tidak cukup, meski jatuh pingsan dan dirawat karena sakit typus,
tidak cukup, meski harus makan bubur ditambah air karena tidak ada uang lebih membeli makanan
tidak cukup, meski banting tulang belajar menulis artikel
tidak cukup, meski telah memasukkan satu artikel di koran
Man Jadda Wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil,
Ternyata tidak cukup sakti dalam memenangkan hidup
Man Shabara Zhafira, siapa yang bersabar akan beruntung
Antara sungguh-sungguh dan sukses itu tidak bersebelahan, tapi ada jarak. Jarak ini bisa hanya satu sentimeter, tapi bisa juga ribuan kilometer. Jarak ini bisa ditempuh dalam hitungan detik, tapi bisa juga puluhan tahun.
Jarak antara sungguh-sungguh dan sukses hanya bisa diisi dengan sabar. Sabar yang aktif, sabar yang gigih, sabar yang tidak menyerah, sabar yang penuh dari pangkal sampai ujung yang paling ujung. Sabar yang bisa membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin, bahkan seakan-akan sebuah keajaiban dan keberuntungan. Padahal keberuntungan adalah hasil kerja keras, doa dan sabar yang berlebih-lebih.
Bagaimanapun tingginya impian, dia tetap wajib dibela habis-habisan walau hidup sudah digelung oleh nestapa akut. Dengan bersungguh-sungguh, jalan akan terbuka. Dengan bersabar, takdir akan terkuak menjadi nyata. Dan Tuhan selalu memilihkan yang terbaik dan paling kita butuhkan.
(Penutup Ranah 3 Warna)
0 comments