Buku ini sangat lekat dengan karakter Dahlan Iskan, dan memang sah-sah saja menulis biografi dalam bentuk novel semacam ini. Apalagi, buku ini memang ditulis dengan baik. Kalau, tokoh bukunya orang yang tidak banyak dikenal, misal sepatu Sumardi atau sepatu Tono mungkin kisah akan buku ini akan sangat berbeda ^_^.
Ya..siapa yang tidak kenal Dahlan Iskan? Iya sih..kalau ditanya ke mbah-mbah di pelosok yang gak tahu TV atau orang-orang yang sibuk bekerja sehingga tidak memperhatikan Indonesia di pucuk sana ya mungkin gak tahu. Tapi setidaknya, Dahlan Iskan dikenal sebagai salah satu Menteri oleh sebagian besar rakyat Indonesia (note : saya bahkan tidak kenal semua Menteri karena seringnya ada perubahan posisi di kabinet err dulu waktu sekolah hafal, karena sejak kelas 5 SD sampai kelas 3 SMP selalu ikut lomba cerdas tangkas P4 yang pertanyaannya pasti ada unsur kabinet hehe ) Oopps bukan ini yang mau diceritakan ding..
Saya pribadi, pertama kali tahu Dahlan Iskan karena kisah beliau yang menjalani cangkok hati di Beijing, pernah membaca tulisan tersebut entah di koran mana dan tahun berapa gitu. Kemudian saat Dahlan Iskan menjadi Direktur PLN, saya sering mengikuti tulisan di blog beliau, tulisan beliau memang selalu menarik. beliau salah satu orang yang bisa menuangkan ide dan gagasan dengan segenap posisi yang sekarang beliau miliki dimanapun beliau berada.
Sebelum saya lanjutkan, mmmm.. ini bukan kampanye tentang Dahlan Iskan, saya bukan fans beliau, tapi banyak aktifitas beliau tidak bisa dikatakan jelek bahkan layak untuk diacungi jempol, ditiru oleh siapapun yang mendapat amanah kekuasaan dan digugu oleh generasi manapun yang berharap Indonesia bisa jadi lebih baik. Nah buku ini salah satu paket sepak terjang beliau, hasil penjualan buku akan disisihkan untuk memberikan sepatu untuk anak-anak Indonesia. Hmm masih adakah anak Indonesia yang belum memakai sepatu ? Ya, masih banyak!
Kisah utama novel ini, menceritakan bagaimana Dahlan Iskan kecil yang sangat menginginkan memiliki sepatu. Sepatu bukan sesuatu yang mudah untuk kehidupannya kala itu, saat makan seharusnya menjadi prioritas utama, dan bukannya alas kaki. Novel ini juga menceritakan timpangnya kehidupan keluarga Dahlan saat ibu mereka meninggal dan bagaimana perjuangan Dahlan menempuh sekolah yang berat karena ditempuh dengan harus berjalan kaki 12 km pp. Tidak lupa beberapa kisah lucu dan konyol mewarnai buku ini, jatuh cinta ala abg atau kisah semangat yang ditularkan pada pertandingan bola volley. Kisah ini diceritakan apa adanya, juga saat Dahlan nekad mencuri sebatang tebu untuk adiknya agar tidak kelaparan, mengambil uang simpanan ayahnya untuk nekad membeli sepatu, yang batal karena bahkan uang itu bahkan tidak cukup untuk membeli sepatu bekas. Dan yang menarik adalah, Dahlan selalu menulis, ya semua perih, kecewa, senang dan sedihnya dituliskan dalan catatan harian, khas seorang penulis.
Membaca buku ini, sungguh mengingatkan saya pada masa saya dulu SD. Alhamdulillah..keluarga kami memang tidak menghadapi cobaan seberat keluarga Dahlan kecil. Tapi melihat lingkungan sekitar kami, setiap lembar dalam buku Sepatu Dahlan, 370 halaman itu terlihat nyata.
Dulu, di sekolah dasar yang ada di pelosok lampung, hanya setengah dari penghuni kelas yang bersepatu, sisanya bebas nyeker ria, bertelanjang kaki. Dan saya tahu pasti, mana teman-teman yang benar-benar makan tiga kali sehari, mana yang makan cuma sekali atau dua kali sehari dengan lauk seadanya. Kadang, ada yang pingsan di sekolah karena lapar. Kalau sepulang sekolah, main ke rumah teman, biasanya mereka menawari saya ikut makan, jarang ada nasi dibawah tutup saji, lebih sering tiwul/nasi jagung dan sambel terasi atau ikan asin yang sudah jadi lauk mewah mereka (makan nasi putih anget pake terasi bakar itu enak lho). SMP dan SMA di tempat kami hanya ada di kota kabupaten, sekitar 22-25 km dari rumah, hanya ada dua pilihan, kost atau naik angkot, saya nyerah naik angkot jadi saya memilih jadi anak kost :). Tetap saja kalau weekend pulang dari kost, saya harus berjalan kaki dari pasar ke rumah (kalau tidak dapat tumpangan), karena tidak ada kendaraan , sekitar 2 km. Jadi setiap hari berjalan kaki 12 km, itu sangat berat saudara-saudara, plus.. bagi Dahlan, itu dijalani tanpa alas kaki...
"Hidup, bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya" begitu ditulis Dahlan Iskan, ya, sikap itu terlihat pada falsafah hidup yang sederhana. Diceritakan di novel tersebut, Dahlan memelihara domba, amat sangat banyak menurut saya, diatas dua puluh kalau tidak salah. Dulu saya sering menemani teman angon kambing/sapi, mengurus empat kambing saja sudah repot :p, apalagi puluhan. Satu atau dua ekor dombanya , kalau dijual, cukup untuk membeli sepatu. Tapi itulah khas pemikiran orang desa, ketika sepatu bukan prioritas utama, maka tidak akan dikorbankan apa yang dimiliki. Saya dulu sering melihat rumah-rumah yang di survey sebagai keluarga pra sejahtera karena rumahnya belum berdinding bata, jadi masih dari anyaman bambu, padahal di belakang rumah, mereka punya 4 sapi dan beberapa kambing.
Selain itu, novel ini juga dibumbui dengan kisah persahabatan antara Dahlan dengan teman-temannya, dan tak lupa hubungan yang unik antara Dahlan dan Ayahnya. Buku ini dikemas oleh pengarangnya, Khrisna Pabhicara dengan bahasa yang lincah, jenis buku yang kisahnya menuai banyak hikmah. Pada akhir cerita, Dahlan memang memiliki sepatu, hasil menjadi pelatih bola volley dan ditambah dengan pemberian ayahnya, tapi tetap saja, agar tidak rusak, Dahlan tidak memakai sepatunya setiap hari ^_^ .
Semoga, kita selalu bisa bersyukur dengan setiap pemberian Allah kepada kita.
Ya..siapa yang tidak kenal Dahlan Iskan? Iya sih..kalau ditanya ke mbah-mbah di pelosok yang gak tahu TV atau orang-orang yang sibuk bekerja sehingga tidak memperhatikan Indonesia di pucuk sana ya mungkin gak tahu. Tapi setidaknya, Dahlan Iskan dikenal sebagai salah satu Menteri oleh sebagian besar rakyat Indonesia (note : saya bahkan tidak kenal semua Menteri karena seringnya ada perubahan posisi di kabinet err dulu waktu sekolah hafal, karena sejak kelas 5 SD sampai kelas 3 SMP selalu ikut lomba cerdas tangkas P4 yang pertanyaannya pasti ada unsur kabinet hehe ) Oopps bukan ini yang mau diceritakan ding..
Saya pribadi, pertama kali tahu Dahlan Iskan karena kisah beliau yang menjalani cangkok hati di Beijing, pernah membaca tulisan tersebut entah di koran mana dan tahun berapa gitu. Kemudian saat Dahlan Iskan menjadi Direktur PLN, saya sering mengikuti tulisan di blog beliau, tulisan beliau memang selalu menarik. beliau salah satu orang yang bisa menuangkan ide dan gagasan dengan segenap posisi yang sekarang beliau miliki dimanapun beliau berada.
Sebelum saya lanjutkan, mmmm.. ini bukan kampanye tentang Dahlan Iskan, saya bukan fans beliau, tapi banyak aktifitas beliau tidak bisa dikatakan jelek bahkan layak untuk diacungi jempol, ditiru oleh siapapun yang mendapat amanah kekuasaan dan digugu oleh generasi manapun yang berharap Indonesia bisa jadi lebih baik. Nah buku ini salah satu paket sepak terjang beliau, hasil penjualan buku akan disisihkan untuk memberikan sepatu untuk anak-anak Indonesia. Hmm masih adakah anak Indonesia yang belum memakai sepatu ? Ya, masih banyak!
Kisah utama novel ini, menceritakan bagaimana Dahlan Iskan kecil yang sangat menginginkan memiliki sepatu. Sepatu bukan sesuatu yang mudah untuk kehidupannya kala itu, saat makan seharusnya menjadi prioritas utama, dan bukannya alas kaki. Novel ini juga menceritakan timpangnya kehidupan keluarga Dahlan saat ibu mereka meninggal dan bagaimana perjuangan Dahlan menempuh sekolah yang berat karena ditempuh dengan harus berjalan kaki 12 km pp. Tidak lupa beberapa kisah lucu dan konyol mewarnai buku ini, jatuh cinta ala abg atau kisah semangat yang ditularkan pada pertandingan bola volley. Kisah ini diceritakan apa adanya, juga saat Dahlan nekad mencuri sebatang tebu untuk adiknya agar tidak kelaparan, mengambil uang simpanan ayahnya untuk nekad membeli sepatu, yang batal karena bahkan uang itu bahkan tidak cukup untuk membeli sepatu bekas. Dan yang menarik adalah, Dahlan selalu menulis, ya semua perih, kecewa, senang dan sedihnya dituliskan dalan catatan harian, khas seorang penulis.
Membaca buku ini, sungguh mengingatkan saya pada masa saya dulu SD. Alhamdulillah..keluarga kami memang tidak menghadapi cobaan seberat keluarga Dahlan kecil. Tapi melihat lingkungan sekitar kami, setiap lembar dalam buku Sepatu Dahlan, 370 halaman itu terlihat nyata.
Dulu, di sekolah dasar yang ada di pelosok lampung, hanya setengah dari penghuni kelas yang bersepatu, sisanya bebas nyeker ria, bertelanjang kaki. Dan saya tahu pasti, mana teman-teman yang benar-benar makan tiga kali sehari, mana yang makan cuma sekali atau dua kali sehari dengan lauk seadanya. Kadang, ada yang pingsan di sekolah karena lapar. Kalau sepulang sekolah, main ke rumah teman, biasanya mereka menawari saya ikut makan, jarang ada nasi dibawah tutup saji, lebih sering tiwul/nasi jagung dan sambel terasi atau ikan asin yang sudah jadi lauk mewah mereka (makan nasi putih anget pake terasi bakar itu enak lho). SMP dan SMA di tempat kami hanya ada di kota kabupaten, sekitar 22-25 km dari rumah, hanya ada dua pilihan, kost atau naik angkot, saya nyerah naik angkot jadi saya memilih jadi anak kost :). Tetap saja kalau weekend pulang dari kost, saya harus berjalan kaki dari pasar ke rumah (kalau tidak dapat tumpangan), karena tidak ada kendaraan , sekitar 2 km. Jadi setiap hari berjalan kaki 12 km, itu sangat berat saudara-saudara, plus.. bagi Dahlan, itu dijalani tanpa alas kaki...
"Hidup, bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya" begitu ditulis Dahlan Iskan, ya, sikap itu terlihat pada falsafah hidup yang sederhana. Diceritakan di novel tersebut, Dahlan memelihara domba, amat sangat banyak menurut saya, diatas dua puluh kalau tidak salah. Dulu saya sering menemani teman angon kambing/sapi, mengurus empat kambing saja sudah repot :p, apalagi puluhan. Satu atau dua ekor dombanya , kalau dijual, cukup untuk membeli sepatu. Tapi itulah khas pemikiran orang desa, ketika sepatu bukan prioritas utama, maka tidak akan dikorbankan apa yang dimiliki. Saya dulu sering melihat rumah-rumah yang di survey sebagai keluarga pra sejahtera karena rumahnya belum berdinding bata, jadi masih dari anyaman bambu, padahal di belakang rumah, mereka punya 4 sapi dan beberapa kambing.
Selain itu, novel ini juga dibumbui dengan kisah persahabatan antara Dahlan dengan teman-temannya, dan tak lupa hubungan yang unik antara Dahlan dan Ayahnya. Buku ini dikemas oleh pengarangnya, Khrisna Pabhicara dengan bahasa yang lincah, jenis buku yang kisahnya menuai banyak hikmah. Pada akhir cerita, Dahlan memang memiliki sepatu, hasil menjadi pelatih bola volley dan ditambah dengan pemberian ayahnya, tapi tetap saja, agar tidak rusak, Dahlan tidak memakai sepatunya setiap hari ^_^ .
Semoga, kita selalu bisa bersyukur dengan setiap pemberian Allah kepada kita.
0 comments