Buku bersampul merah ini kubaca untuk yang kesekian kali, menemani perjalanan
dengan Sancaka Sore ke Kota Solo. Beberapa orang mungkin bilang, membaca buku
yang sama berkali-kali itu aneh, tokh bukunya tidak berubah, tapi tidak
menurutku. Kalau aku jatuh cinta dengan sebuah buku, maka setiap mulai
membacanya aku merasa membaca sesuatu yang baru, menikmati petualangan dalam
buku sebagai pengalaman baru.
Karangan Tere Liye yang kubaca pertama kali adalah Daun
Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, dan tulisannya kemudian mulai mengisi
koleksi bukuku jika ada kesempatan membaca atau sedikit dana luang untuk
membeli buku.
Diantara
karangan Tere Liye koleksiku yang lain, buku ini cukup tebal, ini identitas bukunya
Judul : Kau, Aku dan Sepucuk Angpau
Merah
Penulis : Tere Liye
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman :
x+507 halaman
Cetakan : I, Januari 2012
ISBN :
978-979-22-7913-9
Ah, kisah pengemudi sepit dari tepian
sungai Kapuas ini memang selalu memukau, meski kubaca berkali-kali. Bahkan
meski badanku harus mengikuti gerak kereta api, aku masih bisa membuka tiap
lembar dari novel ini.
Namanya Borno, aslinya Borneo, dilafalkan agar
mudah menjadi Borno. Pemuda yang menjadi tokoh utama novel ini, mengikuti tulisan
takdir yang harus dijalani.Meski berganti profesi berkali-kali, mulai dari karyawan
pabrik karet, pemeriksa karcis kapal feri, pegawai SPBU, membantu di warung
tetangga, toko kelontong, memperbaiki genteng sampai mencari kucing hilang,
akhirnya Borno harus berdamai dengan pilihan terakhirnya menjadi pengemudi
sepit, seperti halnya bapaknya dan kakeknya. Sepit, berasal dari kata speed, digunakan sebagai alat transportasi yang
digunakan penduduk sekitar menyebrangi sungai Kapuas. Padahal profesi pegawai
sepit ini, adalah profesi yang diwasiatkan oleh almarhum Bapaknya untuk tidak dipilih.
Disinilah Borno bertemu dengan Mei, penumpang
yang meninggalkan surat bersampul merah, dilem rapi, tanpa nama di bangku sepit
yang dikemudikan Borno.
Rasa penasaran yang membuat Borno
kemudian mencari pemilik surat bersampul merah. Namun, ketika bertemu dengan Mei selanjutnya,
Borno tidak bisa menanyakan perihal surat tersebut. Mei yang sedang membagikan
angpao, mengira Borno sudah mendapatkan angpao, karena bentuk angpao dan surat itu sama. Pertemuan dengan
Mei, yang membekas bagi Borno, bujang
dengan hati paling lurus sepanjang
tepian Kapuas, merajut benang merah bagi keseluruhan cerita novel
ini.
Dan Borno berusaha untuk berjumpa dengan
Mei. Berusaha datang agar mendapat antrian pengemudi sepit nomor 13 sesuai jadwal Mei menyeberang Kapuas,
mencari apa yang harus diobrolkan saat berjumpa dengan Mei, mengajari
mengemudikan sepit dan pertemuan-pertemuan lain yang secara tidak sengaja
menjalin kisah Borno dan Mei menjadi menarik.
Novel ini juga bercerita tentang kisah
cinta Bang Togar, pimpinan organisasi pengemudi sepit, yang mencintai dan
berkomitmen berumahtangga dengan anak ketua Suku Dayak Pedalaman. Perjuangannya
untuk mendapatkan Unai, istrinya, justru
berbuah masalah ketika mereka sudah menikah karena Togar terlalu pencemburu. Sebuah hikmah
bahwa kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi, bahkan pada orang yang saling
mencintai. Pak Tua dan Borno, ikut menemani Togar saat menghadapi masa sulit
memperbaiki rumah tangganya.
Tidak hanya kisah tentang Borno saja,
novel ini juga menampilkan beberapa cerita tentang persahabatan dan kemauan
keras untuk belajar. Borno dan Andi sebagai anak muda yang harus berjuang
dengan kerasnya hidup dengan pendidikan SMA, juga ketika Borno kemudian
memutuskan untuk membangun bengkel bahkan melanjutkan kuliah jurusan Mesin. Konflik cerita yang menyedihkan juga terlihat pada saat
Borno, yang akhirnya tahu siapa nama Mei, adalah pada momen Mei harus pergi kembali kuliah ke Surabaya. Ketika
Borno menemani Pak Tua ( orang yang dalam novel ini seperti pengganti Bapak
bagi Borno) berobat ke Surabaya, Borno bertemu dengan Mei, sekaligus mengetahui
bahwa Ayah Mei tidak menyukai keberadaan Borno.
Borno, yang kembali ke Pontianak dengan
hati hampa berusaha menata hidupnya. Muncul tokoh Sarah, dokter gigi, yang
ternyata punya keterkaitan kuat dengan keluarga Borno. Ayah Sarah adalah orang
yang menerima transplantasi jantung Ayah Borno. Saat Borno kecil, Ayahnya terkena
sengatan ubur-ubur, dokter menyatakan nyawanya tidak akan bisa diselamatkan. Dan
Ayah Borno memutuskan untuk mendonorkan jantungnya kepada pasien yang
membutuhkan, yaitu Ayah Sarah. Sarah
ternyata adalah teman masa kecil Mei. Keterikatan kedua keluarga , Borno dan
Sarah, karena kenangan masa lalu, menyebabkan Sarah banyak terlibat dalam hidup
Borno, menjadi sahabat dan adik bagi Borno. Mulai dari perlombaan sepit dengan
hasil yang mencengangkan, makan malam keluarga, perjalanan memancing bersama para pengemudi
sepit, hingga perjalanan pertama Borno menyeberang ke Malaysia.
Kearifan Hidup dalam Jalinan Kata
Inilah salah satu kekuatan novel dari
Tere Liye, berbagai pernyataan dan dialog yang menampilkan berbagai kearifan
memahami hidup, berikut beberapa diantaranya
---Camkan, bahwa cinta adalah perbuatan.
Nah, dengan demikian, ingat baik-baik, kau selalu bisa memberi tanpa sedikit
pun rasa cinta, Andi. Tetapi kau tidak akan pernah bisa mencintai tanpa selalu memberi
---Cinta sejati selalu menemukan jalan,
Borno. Ada saja kebetulan, nasib, takdir, atau apalah sebutannya. Tapi
sayangnya, orang-orang yang mengaku sedang dirundung cinta justru sebaliknya,
selalu memaksakan jalan cerita, khawatir, cemas, serta berbagai perangai norak
lainnya. Jika berjodoh, Tuhan sendiri yang akan memberikan jalan terbaiknya
---Cinta bukan kalimat gombal, cinta
adalah komitmen tak terbatas, untuk saling mendukung, untuk selalu ada, baik
senang maupun duka.
---Bagi bayi, sakit adalah tahapan naik
kelas, sakit sebelum merangkak, sakit sebelum bisa berdiri, sakit sebelum bisa
berjalan. Bagi kita yang jelas tidak mengulum jempol lagi, sakit adalah proses
pengampunan
---Kala hati kau sedang banyak pikiran,
gelisah, kau selalu punya teman dekat. Mereka bisa jadi penghiburan, bukan
sebaliknya tambah kau abaikan. Habiskanlah masa-masa sulit kau dengan teman
terbaik, maka semua akan lebih ringan.
--- Kau tahu apa yang bisa dengan segera
membuat tampang kusutmu mencair seperi mentega lumer di penggorengan, sebal di
hati pergi seperti kotoran disapu air? Sederhana. Kau bolak-balik sedikit saja
hati kau. Sedikit saja, dari rasa dipaksa menjadi sukarela, dari rasa terhina
menjadi dibutuhkan, dari rasa disuruh-suruh menjadi penerimaan. Seketika, wajah
kau tak kusut lagi
---Rasa sedih melihat teman terbaik
menangis ternyata bisa berubah menjadi semangat menggebu tiada tara. Rasa
pilu melihat teman baik teraniaya,
bahkan konon bisa mengubah seorang pengecut menjadi panglima perang
---Cinta hanyalah segumpal perasaan
dalam hati. Sama halnya dengan gumpal perasaan senang, gembira, sedih, sama
dengan kau suka makan gulai kepala ikan, suka mesin. Bedanya, kita selama ini
terbiasa mengistimewakan gumpal perasaan yang disebut dengan cinta. Kita beri
dia porsi lebih penting, kita besarkan, terus menggumpal membesar. Coba saja
kau cueki, kau lupakan, maka gumpal cinta itu dengan cepat akan layu seperti
kau bosan makan gulai kepala ikan.
Keping Puzzle Cerita yang Bermakna
Ada banyak sekali yang membuat novel
berlatar belakang kota Pontianak ini menjadi bacaan yang sulit dihentikan, menurutku
ini beberapa alasannya :
- Tere Liye selalu sabar mengakhiri setiap novelnya, setiap konflik diceritakan dengan runtut, satu persatu, merangkai kepingan puzzle yang diakhiri dengan tidak tergesa-gesa, manis dan mengejutkan di akhir cerita
- Setiap dialog disesuaikan dengan latar cerita, namun masih terbaca bagi orang awam yang membacanya. Nuansa dialog Pontianak kentara, tapi dengan bahasa yang mudah dipahami. Penggambaran latar cerita, bisa membuat pembaca benar-benar berada di Pontianak (baru tahu juga kalau Pontianak itu nama hantu J ) dan merasa berkali-kali menyeberangi Kapuas. Bahkan ketika bab yang menceritakan Pak Tua dan Borno pergi ke Surabaya, detil tentang Surabaya diceritakan dengan proporsi yang pas.
- Lima ratus halaman ini tidak melulu bercerita tentang cinta, ada kisah kepatuhan Borno terhadap ibunya, kisah persahabatan Borno dan Andi, ada kisah bijak yang diselipkan dengan tokoh Pak Tua, ada kepingan nasionalisme yang diselipkan saat kunjungan ke Malaysia, juga kisah menggugah semangat dan wirausaha saat Borno merintis bengkel usahanya bersama Andi dan Bapaknya.
- Tak lupa bumbu lucu dan kekonyolan dalam beberapa percakapan, sarat dengan ungkapan sederhana yang menyunggingkan senyum. Misalnya, saat Borno dan Andi meributkan kentut Cinderella atau wajah induk beruang kehilangan anak , juga sindirian bijak khas Pak Tua. Kekonyolan khas anak muda juga terlihat saat Andi membohongi Borno, bahwa Mei kembali, dan balas dendam Borno dengan mengerjai Andi di bengkel Bapaknya.
Kalau ada
kelemahan dalam novel ini, sulit sekali untuk ditemukan. Meski ada yang
mengganjal tentang bagaimana Bapak Borno menyatakan mengikhlaskan jantungnya
didonorkan dalam kondisi yang dinyatakan tidak dapat diselamatkan, hal itu
dapat dimaklumi sebagai bagian dari cerita masa lalu. Dan salah satu yang jelas
nyata dari novel ini adalah kenyataan bahwa ini adalah kisah fiksi. Kisah ini
ditutup dengan dibacanya surat bersampul merah yang sejak awal disimpan tanpa
dibuka oleh Borno, dan memberi akhir cerita sebagai kisah yang manis.
Namun, paling
tidak, kisah sederhana Mei, Borno, Pak Tua, Sarah, Andi, Togar dan
lain-lainnya, yang diramu dengan sangat baik ini, memberi banyak hikmah tentang
hidup. Paradoks, bahwa hidup kadang menuai banyak inspirasi kisah yang cantik
sekaligus kenyataan kisah hidup tidak selalu secantik cerita yang diberi
inspirasi. Yang bisa dilakukan untuk
hidup adalah bersyukur, apapun rasanya, berusaha
yang terbaik untuk menuliskan kisah kita sendiri.
Nah sudah sampai
Stasiun Solo Balapan.. wah..novel ini akan lebih menarik kalau Anda baca
sendiri, sungguh…
0 comments