Kisah ini ditulis ulang dari status bu Ida Nur Laila, istrinya pak Cah, diposting pada fb beliau tanggal 12 Mei. Isinya begini :
Pada tahun pertama pernikahanku, kami baru saja pindah rumah, dari satu rumah kontrakan, ke rumah kontrakan yang baru. Setelah usai mengangkut barang-barang, termasuk semua pot bunga kesayanganku, kami memandangi ‘bekas rumah’ kami.
“ Aduh sayang sekali pohon mangganya kita tinggal...... kita kan belum lama menanam dan belum mencicipi buahnya...” kataku sedikit menyesal, memandangi pohon mangga arumanis setinggi satu meter setengah.
“ Tidak boleh berfikir demikian. Jika menanam kita harus ikhlas untuk anak cucu kita. Jika nenek moyang kita semua berfikir begitu, saat ini kita tidak akan makan buah-buahan....nenek kita menanamnya dan mereka mungkin tak pernah merasakan buah yang ditanamnya...” kata ibu mertuaku.
Deg !
Aku terhenyak dalam kesadaran.
Mengapa aku melupakan hal yang sederhana itu. Bukankah kita semestinya bersyukur bahwa setiap hari kita memakan aneka buah dan sayur tanpa harus menanamnya. Bahkan sering kali kita mendapatkannya secara gratis dari tetangga disekitar atau kenalan nun jauh disana. Siapakah yang menanam jika bukan para pendahulu kita.
Pelajaran yang kudapat dari nasehat sederhana itu adalah :
1.Janganlah pernah menyesali kebaikan yang kita tanam. Pastilah kebaikan itu akan membawa manfaat pada diri kita maupun orang lain.
2. Pekalah kita pada kebaikan orang lain. Jika kita berusaha menghitung jumlah kebaikan orang lain kepada kita, tak kan sanggup kita menyebut macam dan jumlahnya.
3. Dahulukan keikhlasan dan ketulusan saat menanam kebaikan, karena itulah yang akan menggembirakan kita di dunia dan di akhirat.
Belajar ketulusan memang tidak mudah, tapi tetap harus diusahakan.. ingat, untuk setiap kebaikan jangan pernah ingat bagaimana akan kembali kepada kita, Allah punya rahasia, untuk balasan setiap kebaikan yang kita tanam.
(a reminder for my self)
0 comments